o1 o2

Ramadan - Serba Serbi Ramadhan

Suasana Ramadan di Yaman (2)

Selasa,15 September 2009 - 13:36 wib
text TEXT SIZE :
Share
-

Pada sekitar tanggal 10 Ramadan yang lalu, Ahmad Syukron Amin, mantan Ketua Umum PPI Yaman telah menceritakan pernik ramadan di Yaman. Beberapa hal yang diceritakan merupakan suasana Ramadan yang ada di Yaman Utara (Syimal). Pada bagian ke dua ini, saya bermaksud menceritakan pernik Ramadan di Yaman Bagian Selatan (Janub).

Perlu diketahui, bahwa Yaman sebelumnya terbagi menjadi dua negara, Yaman Syimal (Utara) yang beribukota di Sana'a dan Yaman Janub (Selatan) yang waktu itu beribukota di Aden. Namun pada tahun 1991 Yaman Syimal berhasil mengajak Yaman Janub untuk bersatu dalam negara kesatuan Republik Islam Yaman yang beribukota di Sana'a dan dipimpin Presiden Ali Abdullah Saleh yang sampai sekarang masih menduduki kursi kepresidenan.

Selain pada aspek budaya, ada dua perbedaan mendasar antara Yaman Selatan dan Yaman Utara. Pertama, kebanyakan kota di wilayah Yaman Utara beriklim dingin sementara Yaman Selatan beriklim Panas. Kedua, dibanding dengan Yaman Utara, Yaman Selatan jauh tertinggal dari aspek pembangunan infrastrukturnya. Oleh Karenanya, jika Anda berkunjung ke Yaman Selatan, serta merta Anda akan menemukannya sebagai daerah yang jauh dari kesan maju, modern, atau bahkan sama sekali tertinggal.

Ramadan kali ini, di Yaman selatan, hususnya Hadhramaut, suhu panas naik menjadi 40 celsius. Hingga tak aneh, jika semua aktivitas perdagangan di Hadhramaut harus tutup di pagi dan siang hari dan baru menggeliat kembali setelah salat Ashar. Kegiatan ekonomi di Indonesia yang sudah mulai bergerak sebelum subuh tiba tak akan Anda jumpai di Hadhramaut. Sehingga, jika pada bulan Ramadan Anda berkunjung ke Hadhramaut, Anda akan menemukan hampir seluruh kota di Provinsi ini seperti kota mati karena hampir tak ada orang yang keluar di pagi dan siang hari. Bagi mahasiswa Indonesia, terlebih yang baru bermukim satu hingga dua tahun, suhu panas tersebut merupakan alasan yang cukup kuat untuk tidak keluar asrama. Biasanya, mereka menghabiskan hari libur Ramadan dengan berdiam diri di kamar masing-masing sambil menghabiskan beberapa bacaan ringan, novel arab, komik arab, dan beberapa bulletin olah raga berbahasa arab.

Baru setelah salat Ashar, satu persatu mereka mulai keluar asrama dengan sepeda motor atau jalan kaki berkelompok untuk mengikuti beberapa Rohah (sejenis pengajian rutin Ramadan) di beberapa Masjid. Karena jumlah masjid di kota Tarim begitu banyak dan hampir semua mengadakan rohah, maka mahasiswa bebas memilih ke masjid mana mereka akan berangkat. Namun yang paling banyak diikuti oleh mayoritas mahasiswa Indonesia adalah rohah di masjid Jami' Tareem bersama Al Habib Salim Al Syathiri, salah seorang tokoh Ulama' Yaman terkemuka pengasuh Rubath Tareem yang juga sering melakukan kunjungan da'wah ke Indonesia dan Asia Tenggara.

Ramadan tahun ini beliau membacakan kitab Shohih Muslim dengan system bandongan, sama persis dengan system pengajian di pesantren-pesantren Indonesia pada umumnya. Dan biasanya, kegiatan rohah tersebut diahiri pada pukul 17.00 waktu setempat. Lazimnya pengajian Ramadan di Indonesia, rohah tersebut juga diahiri dengan membacakan doa bersama-sama.

Usai mengikuti rohah, mahasiswa Indonesia yanag terbiasa dengan budaya ngabuburit memanfaatkan waktu senggang sebelum bedug maghrib dengan duduk-duduk santai sambil berbincang-bincang membentuk kelompok-kelompok.

Yang paling unik dari budaya Hadhramaut saat bulan Ramadan di banding dengan daerah berpenduduk muslim kebanyakan adalah budaya Tarawih bergiliran. Di kota Tareem, misalnya, salat Tarawih didirikan sampai lima kali dalam semalam dengan cara bergantian dari masjid satu ke masjid lainnya. Dan uniknya banyak dari warga setempat dan mahasiswa dari berbagai negara mengikuti semua kegiatan tarawih tersebut. Sehingga dalam semalam, tak sedikit yang melakukan tarawih empat sampai lima kali dengan berpindah dari masjid satu ke masjid yang lain. Bagi sementara warga dan mahasiswa yang merasa cukup tarawih satu kali, bebas memilih jadwal salat Tarawih yang mereka sukai. Konon, keunikan budaya tarawih bergilir itu dilatar belakangi oleh jumlah masjid di kota Tareem yang jumlahnya sama dengan jumlah hari dalam satu tahun, 165.

Khusus mahasiswa Indonesia yang merasa cukup dengan satu kali tarawih, biasanya memilih melakukannya di Musholla Darul Mushtofa yang dalam sebulan penuh menghatamkan Alquran dua kali. Kegiatan tarawih di Darul Mushtofa dipimpin langsung oleh Habib Umar bin Hafidz, Rektor Darul Mushtofa yang juga sering melakukan kunjungan dakwah ke Indonesia dan Asia Tennggara. Baru setelah sepuluh akhir bulan Ramadan yang merupakan saat-saat lailatul qodar seperti ini, mereka melakukan tarawih berpindah-pindah sekaligus mengikuti kegiatan I'tikaf sampai waktu sahur tiba dan mengikuti makan sahur di masjid tempat mereka beri'tikaf.

Meski Yaman Selatan jauh tertinggal dalam pembangunan infrastruktur dan beriklim jauh lebih panas dibanding Yaman Utara, namun ternyata kebanyakan Mahasiswa Indonesia yang belajar di Yaman justru lebih memilih belajar di Yaman Selatan daripada di Yaman Utara. Hal tersebut terbukti sampai sekarang tercatat ada lebih dari 800 mahasiswa Indonesia dari hampir 1.400 jumlah total mahasiswa Indonesia di Yaman yang kebanyakan belajar di kota Tareem, sebuah kota kecil di Provinsi Hadhramaut yang konon merupakan tanah kelahiran wali songo yang menyebarkan agama Islam di Nusantara. Saking banyaknya mahasiswa Indonesia di kota Tareem, banyak kosa kata warga setempat dipengaruhi oleh bahasa Indonesia. Terlebih komoditi yang di jual di pasar-pasar kota seperti Istrika (setrika), Qonbul (Kemul: -selimut jawa- ), tirmus (termos), Shorung (sarung), biras (beras) dsb. Selain di Hadhramaut, ada juga yang mahasiswa Indonesia yang belajar di Aden, bekas ibu kota Yaman Selatan. Kebanyakan mereka berada di Rubath yang diasuh oleh Al Habib Abu bakar Al Adniy. Seorang da'i semenanjung Arabia yang sangat terkenal dengan pemikiran moderatnya. Namun sampai sekarang, mahasiswa Indonesia yang belajar di sana baru berjumlah belasan.

Ramadan jauh dari keluarga di Indonesia dan berada di daerah yang beriklim panas hingga 40 celsius seringkali membuat mahasiswa Indonesia mengeluh. Menu-menu yang biasa dihidangkan di bulan Ramadan yang menyajikan cita rasa Indonesia tak akan mereka jumpai di rantau. Kolak pisang, mie ayam, gado-gado, dan bakso yang biasanya dinikmati sebagai menu tambahan setelah selesai tarawih tak akan dapat ditemukan di sini. Namun bagi sementara mahasiswa Indonesia yang Belajar di Hadhramaut, bulan Ramadan justru merupakan berkah tersendiri.

Selain mengisi kesibukan dengan berbagai ritus Ramadan, solat tarawih dan tadarrus Alquran, sebagian mahasiswa Indonesia yang kirimannya terbatas memanfaatkan Ramadan sebagai momen yang menghasilkan keuntungan. Hal tersebut disebabkan karena budaya berbuka puasa di Hadhramaut dan di beberapa provinsi lainnya di wilayah Yaman Selatan terbagi menjadi dua. Ta'jil (buka awal) yang dilakukan waktu bedug Maghrib tiba dan Asya' (makan nasi) yang dilakukan setelah melakukan Jama'ah salat maghrib. Menu buka ta'jil di Hadhramaut adalah Syurbah. Sejenis bubur yang dicampur dengan potongan daging kambing (hampir mirip bubur ayam).

Kerinduan pada keluarga dan cita rasa Indonesia yang dialami hampir seluruh mahasiswa Indonesia saat berbuka seperti itu dimanfaatkan oleh sebagian mahasiswa untuk menjajakan masakan khas Indonesia yang mereka olah dengan bahan dan kemampuan seadanya. Sebuah kreativitas yang tetap saja berderap dengan kemampuan yang sama sekali terbatas.

Salah satu menu favorit yang biasa dijajakan adalah bakwan. Biasanya, gorengan has Indonesia yang di Hadhramaut hanya dibuat dari bahan terigu, kubis dan wortel itu dijajakan sebelum bedug tiba untuk campuran makan Syurbah yang menjadi menu tetap buka ta'jil. Tak tanggung-tanggung, hampir setiap hari 25. biji bakwan laku dengan harga 20 Reyal (Rp1.000). Mahasiswa yang telah membeli kemudian memotong bakwan tersebut menjadi potongon kecil-kecil lalu dimasukkan ke dalam panci berisi Syurbah dan diaduk jadi satu hingga satu regu makan yang biasanya berjumlah lima orang tak lagi dapat membedakan mana yang potongan bakwan dan mana yang potongan daging kambing karena telah berbalut dengan bubur. Beberapa mahasiswa jawa yang pernah nyantri di pesantren salaf sering menyebut menu itu dengan bubur blanggentak. Sebuah istilah untuk makanan yang dicampur dengan sesuatu yang bukan merupakan bahan asli. Kelakar-kelakar santri jawa yang memang merupakan ciri khas mereka itulah yang seringkali mampu meringankan beban rindu pada keluarga dan masakan Indonesia.

Selain bakwan, ada juga sebagian mahasiswa yang kreatif memanfaatkan keberanian dan kemampuan pas-pasan mereka untuk membuat mie ayam, lontong, pecel, dan bakso yang biasa mereka jual dengan harga 250 sampai 300 Reyal (senilai Rp12.000). Hingga dalam sebulan penuh berjualan, dan setelah berbagi hasil dengan PPI Yaman yang menyediakan sebagian ruang kantornya untuk disulap menjadi cafeteria kagetan, mereka bisa meraup keuntungan hampir USD500. Nominal yang cukup besar untuk ukuran mahasiswa, terlebih mereka bisa memberikan keuntungan juga pada PPI Yaman yang merupakan induk organisasi mahassiswa Indonesia di seluruh Yaman. Biasanya dari hasil keuntungan yang lumayan tersebut, mereka memborong beberapa kitab yang mereka inginkan dan memang dijual dengan diskon besar-besaran di beberapa toko kitab saat Ramadan tiba. Sebuah kemandirian dan kesederhanaan mahasiswa Indonesia di negeri orang yang menyentuh hati.

Usai menikamati Syurbah yang menjadi menu pembuka, mahasiswa melakukan jamaah Maghrib. Dan baru setelah jama'ah, mereka kembeli membentuk kelompok-kelompok yang terdiri dari lima orang untuk menikmati Asya' (makan malam). Biasanya, menu asya' yang disajikan adalah nasi samin (nasi kebuli) dan daging kambing has Yaman. Daging kambing ini dimasak dengan cara yang unik. Mulanya, daging yang sudah dilaburi dengan bumbu-bumbu tertentu direbus setengah matang, kemudian dimasukkan ke dalam tinnur, sebuah tempat bulat lonjong terbuat dari tanah liat. Biasanya tinnur tersebut memiliki tinggi 1m dan berdiameter 50 cm. daging yang sudah setengah matang tersebut kemudian dimasukan ke dalam tinnur yang sebelumnya sudah diisi dengan pembakaran arang. Kemudian tinnur tersebut di tutup hingga rapat-rapat hingga tak ada asap yang keluar. Setelah hampir satu jam, daging diangkat dan siap saji. Konon, daging kambing yang di asapkan di tinnur itu adalah masakan has Hadhramaut yang telah terkenal di barbagai daerah termasuk Indonesia.

Selain beberapa menu kuliner dan budaya tarawih bergilir di kota Tareem Hadhramaut, ada lagi budaya setempat yang cukup unik. Jika di kampung-kampung Indonesia anak-anak remaja sering membangunkan sahur penduduk dengan tongklek keliling kampung atau dengan membaca tarhim di masjid, maka lain lagi di Hadhramaut. Kebiasaan membangunkan sahur di Hadhramaut dilakukan dengan membaca kalam salaf (petuah-petuah ulama terdahulu ). Kalam salaf yang umumnnya tersusun menjadi syair dan rubaiyyat tersebut mereka lagukan dengan intonasi yang jika disimak hampir mirip dengan alunan tembang-tembang jawa peninggalan wali songo yang biasa kita dengar di pentas budaya atau pagelaran wayang kulit di Indonesia.

Biasanya, alunan kalam salaf tersebut diiringi dengan bunyi yang dihasilkan dari tiupan yang hampir mirip dengan suara seruling. Karena dilantunkan memakai pengeras suara, kalam salaf tersebut terdengar jelas sampai asrama. Ada beberapa mahasiswa jawa yang sudah cukup lama belajar di tareem sampai hafal lirik-lirik alunan itu, dan karena tidak hafal bait yang dibaca, seringkali mereka menirukannya dengan bahasa jawa sekadar untuk menghibur hati.

Keunikan tradisi, budaya, dan menu kuliner bulan Ramadan di kota Tareem Hadhramaut yang pada tahun 2010 nanti menjadi ibu kota kebudayaan Islam dunia tersebut merupakan warna lain dari kekayaan tradisi wilayah yang berpenduduk muslim. Dan seringkali keunikan-keunikan tersebut menjadi obat peringan kangen bagi para mahasiswa Indonesia yang sudah lama menjalani Ramadan jauh dari keakraban keluarga, keindahan dan kekayaan budaya Indonesia.

Selamat berpuasa, semoga amal ibadah kita diterima oleh Allah SWT.

Imam Nawawi
*) Mahasiswa tingkat III Fak Syariah Universitas Al Ahgaff Hadhramaut Yaman. Saat ini menjabat Ketua Umum PPI Yaman


(Qd)

o1 o2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar