Kuningan, bagi para arkeolog merupakan sebuah daerah yang banyak menyimpan misteri masa lalu, terutama zaman megalitikum. Memang masih banyak benda peninggalan masa lalu yang dapat ditemukan di Kabupaten Kuningan. Bahkan ekskavasi secara berkala pernah dilakukan oleh Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional Jakarta pada tahun 1974.
Beragam temuan banyak didapati di hampir seluruh wilayah kabupaten yang terletak di kaki Gunung Ciremai ini. Mulai dari menhir, batu dakon, meja batu, hingga peti kubur batu tersebar. Tercatat, 14 buah peti kubur batu terdapat di Desa Cibuntu, Kecamatan Mandirancan, Palatagan (Pancalang), Rajadanu (Jalaksana), Raga Wacana (Kramat Mulya), Panawar Beas (Cigugur), dan di Desa Cigadung serta Pager Barang Citangtu Kecamatan Kuningan Kota.
Taman Purbakala Cipari berada di lingkungan Cipari, Kelurahan Cigugur. Terletak pada sebuah perbukitan dan berada di bagian barat Kuningan. Jarak tempuh dari pusat kota sekitar 3,5 kilometer dengan kondisi jalan sudah beraspal. Untuk menikmati suasana pedesaan, Anda dapat menggunakan sarana transportasi berupa delman. Hanya dengan membayar Rp 15 ribu, kusir delman akan mengantarkan perjalanan wisata Anda ke Taman Purbakala Cipari, Kolam Ikan Cigugur, dan Desa Adat Cigugur yang terkenal dengan tradisi Seren Taun -nya.
Perjalanan di Kabupaten Kuningan, diawali di situs purbakala Cipari. Di situs purbakala ini tersimpan beraneka ragam peninggalan manusia masa lalu terutama yang berkembang pada masa megalitikum. Yang menjadi daya tarik obyek wisata purbakala berupa peti kubur batu yang masih terawat dan tertata rapi serta insitu. Sehingga pengunjung obyek tersebut akan dapat menyimak tentang pola kehidupan manusia masa lalu.
Peti kubur batu yang berada di situs purbakala Cipari sebenarnya memiliki kesamaan fungsi dengan peti-peti kubur lainnya yang banyak ditemukan di wilayah Indonesia. Di Kepulauan Samosir, masyarakat setempat menyebutnya dengan sebutan Tundrum Baho, di Bondowoso Jawa Timur disebut dengan Pandusa, di Gianyar Bali dikenal dengan istilah Sarkofagus, dan di Sulawesi Utara disebut juga dengan nama Waruga. Yang membedakan, peti kubur batu di Cipari terbuat dari lempengan-lempengan batu yang dibentuk menyerupai peti. Batu-batu berupa papan tersebut banyak sekali ditemukan di sekitar lokasi taman wisata purbakala.
Peti kubur batu yang ditemukan di Kabupaten Kuningan rata-rata menghadap ke arah timur laut-barat daya. Pola ini sebenarnya merupakan penggambaran atas konsep-konsep kekuatan alam seperti matahari dan bulan, yang merupakan pedoman budaya manusia yang hidup pada masa megalitikum, di mana mereka selalu berpegang pada pola terbit dan terbenamnya matahari. Di dalam peti kubur batu itu sendiri tidak ditemukan kerangka manusia. Meski demikian, temuan berupa bekal kubur banyak ditemukan di situs yang pernah dijadikan area penelitian oleh Puslit Arkenas secara berkesinambungan sejak tahun 1972 di bawah pimpinan Teguh Asmar.
Selain kubur peti batu, di sekitar lokasi wisata purbakala juga terdapat bangunan punden berundak yang letaknya lebih tinggi dari bangunan megalitik lainnya. Menurut kepercayaan masa lalu, bangunan tersebut berfungsi sebagai sarana untuk penghormatian dan persembahan bagi roh para nenek moyang. Bangunan lain yang tak kalah uniknya adalah berupa menhir, berupa batu yang berdiri tegak yang berfungsi sebagai sarana untuk memperingati seseorang yang masih hidup ataupun kerabat-kerabat yang telah lama meninggal dunia. Menhir juga merupakan salah satu sarana yang berfungsi sebagai tahta kedatangan roh nenek moyang.
Di kawasan Museum Purbakala Cipari tersimpan benda-benda temuan hasil ekskavasi tim LPPN dan Puslitarkenas. Benda-benda seperti kapak batu persegi, gelang batu, kapak batu, gelang perunggu, lumpang batu, batu obsidian, hematite, batu bahan, bulatan tanah, kendil, pendil, jambaran, dan buli-buli tersimpan rapi di dalam museum yang diresmikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof DR Syarief Thayeb pada 23 Februari 1978. Tidak jauh dari Taman Purbakala Cipari, kira-kira berjarak satu kilo meter ke arah barat, terdapat sebuah desa dengan komunitas masyarakat yang masih menganut tradisi karuhun. Setiap tanggal 22 Rayagung, mereka selalu merayakan tradisi Seren Taun. Yaitu sebuah upacara masyarakat agraris Sunda terhadap limpahan hasil bumi yang diberikan Sang Pencipta kepada umatnya.
”Sampurasun Ka Luluhur, tamada ka Sadayana, cunduk waktu nu rahayu nitih wanci numustari, syukuran Ka nu maha Agung.” Begitulah lantunan bait penuh makna yang diucapkan oleh pemimpin upacara menambah sakral upacara yang digelar setiap tahun sekali oleh masyarakat di Kecamatan Cigugur Kabupaten Kuningan. Bahkan, iringan nada-nada gamelan renteng yang melantunkan tembang sanjungan berupa lagu papalayon dan babarit kepada Karuhun atau nenek moyang menambah sakral ruangan paseban Tri Panca Tunggal yang berdiri pada tahun 1840 itu. Tradisi Seren Taun yang setiap tahun dilaksanakan oleh masyarakat agraris di Cigugur sebenarnya makna hampir sama dengan upacara-upacara yang dilakukan oleh para petani di seluruh Indonesia, bahkan petani di negara-negara agraris masih melakukan kebiasaan atau upacara Thank’s Giving kepada Tuhan atas limpahan hasil pertanian.
Mungkin, kita pernah mendengar kebiasan petani di Jawa Tengah dengan tradisi Mapag Sri dan upacara-upacara sejenis lengkap dengan beragam uborampenya. Semua itu merupakan rasa penghormatan yang tak terhingga dari para petani atas limpahan rejeki yang telah diberikan oleh Tuhan Yang maha Esa sehingga hasil bumi-utamanya padi- dapat dinikmati oleh masyarakat. Melalui Seren Taun inilah masyarakat petani di kawasan Cigugur dan sekitarnya menyampaikan rasa syukurnya kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencerminan kesadaran pribadi atas suatu kenyataan yang mereka terima, yakni hidup dengan kehidupan, dengan kehalusan budi, cinta kasih, tatakrama dalam menerima sentuhan cipta, rasa, dan karsa yang diberikan sang Pencipta. Upacara Seren Taun bagi petani di Cigugur selalu diselenggarakan pada setiap bulan Rayagung.
Pangeran Djatikusumah, seorang pinisepuh masyarakat Desa Cigugur, kepada Republika mengungkapkan, prosesi Seren Taun diawali dengan upacara ngajayak atau menjemput padi. Kebiasaan menjemput padi dilaksanakan empat hari sebelum upacara puncak berlangsung. Ngajayak yang digelar pada tanggal 18 Rayagung memiliki makna menyambut cinta kasih atas kemurahan Tuhan. Rentetan prosesi tidak berhenti di situ. Pada tanggal 22 Rayagung, digelar upacara puncak penumbukan padi. Dalam perhitungan tahun Saka, bulan Rayagung merupakan bulan kedua belas atau penghujung tahun. Demikian dengan penetapan perayaan tradisi Seren Taun juga bermakna kehidupan manusia dari tahun ke tahun tidak lain karena keagungan Tuhan pada umatnya. Masyarakat Sunda lebih mengedepankan religiusitas ahklak, kesejahteraan masyarakat, dan menunujukkan bahwa nenek moyang telah memiliki peradaban moralitas.
Prosesi upacara puncak yang berlangsung sakral, diikuti oleh muda-mudi, serta warga masyarakat Desa Cigugur dengan penuh sukacita. Dengan formasi empat penjuru mata angin, upacara ini diawali dengan barisan lulugu, yakni dua orang gadis muda belia yang mengusung padi, buah-buahan, dan umbi-umbian hasil bumi masyarakat yang dikawal oleh seorang pemuda dengan membawa payung janur bersusun tiga. Pada barisan kedua, sebanyak sebelas gadis belia membawa padi yang masing-masing dipayungi juga oleh para pemuda.
Ini disusul dengan rombongan ibu-ibu yang membawa ikatan padi yang disunggi di atas kepala atau menurut masyarakat setempat disebut nyuhun. Rentetan barisan diakhiri dengan rombongan bapak-bapak paruh baya yang memikul padi dengan rengkong sambil digoyang-goyang. Menurut Pangeran Jatikusumah, semuanya itu mengandung makna yang sangat hakiki bagi masyarakat Cigugur.
Banyaknya hasil bumi yang dibawa masyarakat Cigugur ke arena upacara Seren Taun menandakan rasa syukur yang mendalam kepada Tuhan, meski masyarakat di Cigugur dan sekitarnya beragama Islam, Kristen, Budha, Hindu, dan aliran kepercayaan. Masih di kawasan Cipari-Cigugur, wisatawan dapat menikmati sejuknya hawa pegunungan Ciremai sembari bercengkrama dengan ribuan ikan kancra atau sering disebut ikan dewa yang oleh masyarakat setempat sangat disakralkan.
Lokasi kolam keramat Cigugur, terletak kira-kira 200 meter dari desa adat Cigugur atau empat kilometer dari pusat kota Kuningan. Menurut masyarakat setempat, komunitas ikan langka tersebut hanya terdapat di daerah Kuningan. Itu pula sebabnya pemerintah setempat mengangkat ikan kancra sebagai fauna yang dilindungi dan tanaman gadung sebagai flora yang dilindungi dengan perda. Ikan jenis kancra bodas ini selain terdapat di kolam keramat Cigugur, juga hidup secara alami di kawasan obyek wisata Darma Loka, Kolam Keramat Cibulan, Kolam Linggarjati, dan Kolam Cipaniis. n dedy setiono musashi
Legenda Ikan Kancra di Kaki Gunung Ciremai
Kolam Keramat Cigugur terletak sekitar tiga kilometer dari ibukota Kabupaten Kuningan. Secara geografis, ”balong” itu masuk wilayah Kelurahan Cigugur. Menurut cerita yang berkembang dan dipercaya oleh masyarakat setempat, sebelum lahir nama Cigugur, tempat itu acap disebut dengan nama Padara. Istilah ini diambil dari nama seorang tokoh masyarakat, yaitu Ki Gede Padara, yang memiliki pengaruh besar di desa itu.
Konon Ki Gede Padara lahir sebelum Kerajaan Cirebon berdiri. Menurut perkiraan, tokoh yang menjadi cikal bakal masyarakat Cigugur ini lahir pada abad ke-12 atau ke-13. Pada masa itu, beberapa tokoh yang sezaman dengannya sudah mulai bermunculan, di antaranya Pangeran Pucuk Umun dari Kerajaan Talaga, Pangeran Galuh Cakraningrat dari Kerajaan Galuh, dan Aria Kamuning yang memimpin Kerajaan Kuningan. Berdasarkan garis keturunan, keempat tokoh tersebut masih memiliki hubungan persaudaraan. Namun dalam hal pemerintahan, kepercayaan, dan ajaran yang dianutnya, mereka memiliki perbedaan. Pangeran Pucuk Umun, Pangeran Galuh Cakraningrat, dan Aria Kamuning menganut paham aliran ajaran agama Hindu. Sedangkan Ki Gede Padara tidak menganut salah satu ajaran agama.
Pada abad ke-14 di Cirebon lahir sebuah perguruan yang beraliran dan mengembangkan ajaran agama Islam. Tokoh yang mendirikan perguruan tersebut ialah Syech Nurdjati. Selain Syech Nurdjati, Sunan Gunungjati pun memiliki peran yang besar dalam pengembangan perguruan Islam di tanah Caruban itu. Sebagai kuwu pertama di Dusun Cigugur diangkatlah Ki Gede Alang-Alang. Hingga wafatnya, beliau dimakamkan di Kompleks Masjid Agung. Di usia tuanyan, Ki Gede Padara punya keinginan untuk segera meninggalkan kehidupan fana. Namun, ia sendiri sangat berharap proses kematiannya seperti layaknya manusia pada umumnya. Berita tersebut terdengar oleh Aria Kamuning, yang kemudian menghadap kepada Syech Syarif Hidayatullah. Atas laporan itu, Syech Syarif Hidayatullah pun langsung melakukan pertemuan dengan Padara. Syech Syarif Hidayatullah merasa kagum dengan ilmu kadigjayan yang dimiliki oleh Ki Gede Padara.
Dalam pertemuan itu Padara pun kembali mengutarakan keinginannya agar proses kematiannya seperti layaknya manusia biasa. Syech Syarif Hidayatullah meminta agar Ki Gede Padara untuk mengucapkan dua kalimat syahadat, sebagai syaratnya. Syarat yang langsung dipenuhi Ki Gede Padara. Namun, baru satu kalimat yang terucap, Ki Gede Padara sudah sirna. Setelah Ki Gede Padara menghilang, Syech Sarif Hidayatullah bermaksud mengambil air wudhlu. Namun, di sekitar lokasi tersebut sulit ditemukan sepercik air pun. Dengan meminta bantuan Allah SWT, dia pun menghadirkan guntur dan halilintar disertai hujan yang langsung membasahi bumi. Dari peristiwa inilah kemudian sebuah kolam tercipta.
Namun, masyarakat setempat tidak tahu menahu kapan persisnya kolam tersebut dibangun. Satu hal pasti, kolam tersebut dianggap keramat. Apalagi setelah kolam ”ditanami” ikan kancra bodas. Pengeramatan tersebut juga dilakukan oleh masyarakat terhadap ikan sejenis yang hidup di kolam Darmaloka, Cibulan, Linggarjati, dan Pasawahan. Maksud pengkeramatan terhadap ikan langka tersebut tidak lain bertujuan untuk menjaga dan melestarikannya dari kepunahan akibat ulah manusia.
Ada hal aneh yang sampai kini masih terjadi atas ikan-ikan itu: Jumlahnya dari tahun ke tahun tak pernah bertambah atau pun berkurang. Seolah ikan-ikan tersebut tidak pernah mati atau menurunkan generasi dan keturunan. Komunitas ikan kancra bodas ini tak dapat ditemui selain di kolam-kolam keramat yang ada di Kabupaten Kuningan. Keanehan lainnya terlihat dari polah tingkah laku mereka yang sangat akrab dengan manusia. Bila kolam dibersihkan, masyarakat sekitar sering melihat bahwa ikan-ikan yang ada di kolam tersebut menghilang. Mereka percaya bahwa ikan-ikan tersebut berpindah lokasi ke kolam-kolam keramat lainnya yang ada di Kuningan. Wallahhualam.qd
Beragam temuan banyak didapati di hampir seluruh wilayah kabupaten yang terletak di kaki Gunung Ciremai ini. Mulai dari menhir, batu dakon, meja batu, hingga peti kubur batu tersebar. Tercatat, 14 buah peti kubur batu terdapat di Desa Cibuntu, Kecamatan Mandirancan, Palatagan (Pancalang), Rajadanu (Jalaksana), Raga Wacana (Kramat Mulya), Panawar Beas (Cigugur), dan di Desa Cigadung serta Pager Barang Citangtu Kecamatan Kuningan Kota.
Taman Purbakala Cipari berada di lingkungan Cipari, Kelurahan Cigugur. Terletak pada sebuah perbukitan dan berada di bagian barat Kuningan. Jarak tempuh dari pusat kota sekitar 3,5 kilometer dengan kondisi jalan sudah beraspal. Untuk menikmati suasana pedesaan, Anda dapat menggunakan sarana transportasi berupa delman. Hanya dengan membayar Rp 15 ribu, kusir delman akan mengantarkan perjalanan wisata Anda ke Taman Purbakala Cipari, Kolam Ikan Cigugur, dan Desa Adat Cigugur yang terkenal dengan tradisi Seren Taun -nya.
Perjalanan di Kabupaten Kuningan, diawali di situs purbakala Cipari. Di situs purbakala ini tersimpan beraneka ragam peninggalan manusia masa lalu terutama yang berkembang pada masa megalitikum. Yang menjadi daya tarik obyek wisata purbakala berupa peti kubur batu yang masih terawat dan tertata rapi serta insitu. Sehingga pengunjung obyek tersebut akan dapat menyimak tentang pola kehidupan manusia masa lalu.
Peti kubur batu yang berada di situs purbakala Cipari sebenarnya memiliki kesamaan fungsi dengan peti-peti kubur lainnya yang banyak ditemukan di wilayah Indonesia. Di Kepulauan Samosir, masyarakat setempat menyebutnya dengan sebutan Tundrum Baho, di Bondowoso Jawa Timur disebut dengan Pandusa, di Gianyar Bali dikenal dengan istilah Sarkofagus, dan di Sulawesi Utara disebut juga dengan nama Waruga. Yang membedakan, peti kubur batu di Cipari terbuat dari lempengan-lempengan batu yang dibentuk menyerupai peti. Batu-batu berupa papan tersebut banyak sekali ditemukan di sekitar lokasi taman wisata purbakala.
Peti kubur batu yang ditemukan di Kabupaten Kuningan rata-rata menghadap ke arah timur laut-barat daya. Pola ini sebenarnya merupakan penggambaran atas konsep-konsep kekuatan alam seperti matahari dan bulan, yang merupakan pedoman budaya manusia yang hidup pada masa megalitikum, di mana mereka selalu berpegang pada pola terbit dan terbenamnya matahari. Di dalam peti kubur batu itu sendiri tidak ditemukan kerangka manusia. Meski demikian, temuan berupa bekal kubur banyak ditemukan di situs yang pernah dijadikan area penelitian oleh Puslit Arkenas secara berkesinambungan sejak tahun 1972 di bawah pimpinan Teguh Asmar.
Selain kubur peti batu, di sekitar lokasi wisata purbakala juga terdapat bangunan punden berundak yang letaknya lebih tinggi dari bangunan megalitik lainnya. Menurut kepercayaan masa lalu, bangunan tersebut berfungsi sebagai sarana untuk penghormatian dan persembahan bagi roh para nenek moyang. Bangunan lain yang tak kalah uniknya adalah berupa menhir, berupa batu yang berdiri tegak yang berfungsi sebagai sarana untuk memperingati seseorang yang masih hidup ataupun kerabat-kerabat yang telah lama meninggal dunia. Menhir juga merupakan salah satu sarana yang berfungsi sebagai tahta kedatangan roh nenek moyang.
Di kawasan Museum Purbakala Cipari tersimpan benda-benda temuan hasil ekskavasi tim LPPN dan Puslitarkenas. Benda-benda seperti kapak batu persegi, gelang batu, kapak batu, gelang perunggu, lumpang batu, batu obsidian, hematite, batu bahan, bulatan tanah, kendil, pendil, jambaran, dan buli-buli tersimpan rapi di dalam museum yang diresmikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof DR Syarief Thayeb pada 23 Februari 1978. Tidak jauh dari Taman Purbakala Cipari, kira-kira berjarak satu kilo meter ke arah barat, terdapat sebuah desa dengan komunitas masyarakat yang masih menganut tradisi karuhun. Setiap tanggal 22 Rayagung, mereka selalu merayakan tradisi Seren Taun. Yaitu sebuah upacara masyarakat agraris Sunda terhadap limpahan hasil bumi yang diberikan Sang Pencipta kepada umatnya.
”Sampurasun Ka Luluhur, tamada ka Sadayana, cunduk waktu nu rahayu nitih wanci numustari, syukuran Ka nu maha Agung.” Begitulah lantunan bait penuh makna yang diucapkan oleh pemimpin upacara menambah sakral upacara yang digelar setiap tahun sekali oleh masyarakat di Kecamatan Cigugur Kabupaten Kuningan. Bahkan, iringan nada-nada gamelan renteng yang melantunkan tembang sanjungan berupa lagu papalayon dan babarit kepada Karuhun atau nenek moyang menambah sakral ruangan paseban Tri Panca Tunggal yang berdiri pada tahun 1840 itu. Tradisi Seren Taun yang setiap tahun dilaksanakan oleh masyarakat agraris di Cigugur sebenarnya makna hampir sama dengan upacara-upacara yang dilakukan oleh para petani di seluruh Indonesia, bahkan petani di negara-negara agraris masih melakukan kebiasaan atau upacara Thank’s Giving kepada Tuhan atas limpahan hasil pertanian.
Mungkin, kita pernah mendengar kebiasan petani di Jawa Tengah dengan tradisi Mapag Sri dan upacara-upacara sejenis lengkap dengan beragam uborampenya. Semua itu merupakan rasa penghormatan yang tak terhingga dari para petani atas limpahan rejeki yang telah diberikan oleh Tuhan Yang maha Esa sehingga hasil bumi-utamanya padi- dapat dinikmati oleh masyarakat. Melalui Seren Taun inilah masyarakat petani di kawasan Cigugur dan sekitarnya menyampaikan rasa syukurnya kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencerminan kesadaran pribadi atas suatu kenyataan yang mereka terima, yakni hidup dengan kehidupan, dengan kehalusan budi, cinta kasih, tatakrama dalam menerima sentuhan cipta, rasa, dan karsa yang diberikan sang Pencipta. Upacara Seren Taun bagi petani di Cigugur selalu diselenggarakan pada setiap bulan Rayagung.
Pangeran Djatikusumah, seorang pinisepuh masyarakat Desa Cigugur, kepada Republika mengungkapkan, prosesi Seren Taun diawali dengan upacara ngajayak atau menjemput padi. Kebiasaan menjemput padi dilaksanakan empat hari sebelum upacara puncak berlangsung. Ngajayak yang digelar pada tanggal 18 Rayagung memiliki makna menyambut cinta kasih atas kemurahan Tuhan. Rentetan prosesi tidak berhenti di situ. Pada tanggal 22 Rayagung, digelar upacara puncak penumbukan padi. Dalam perhitungan tahun Saka, bulan Rayagung merupakan bulan kedua belas atau penghujung tahun. Demikian dengan penetapan perayaan tradisi Seren Taun juga bermakna kehidupan manusia dari tahun ke tahun tidak lain karena keagungan Tuhan pada umatnya. Masyarakat Sunda lebih mengedepankan religiusitas ahklak, kesejahteraan masyarakat, dan menunujukkan bahwa nenek moyang telah memiliki peradaban moralitas.
Prosesi upacara puncak yang berlangsung sakral, diikuti oleh muda-mudi, serta warga masyarakat Desa Cigugur dengan penuh sukacita. Dengan formasi empat penjuru mata angin, upacara ini diawali dengan barisan lulugu, yakni dua orang gadis muda belia yang mengusung padi, buah-buahan, dan umbi-umbian hasil bumi masyarakat yang dikawal oleh seorang pemuda dengan membawa payung janur bersusun tiga. Pada barisan kedua, sebanyak sebelas gadis belia membawa padi yang masing-masing dipayungi juga oleh para pemuda.
Ini disusul dengan rombongan ibu-ibu yang membawa ikatan padi yang disunggi di atas kepala atau menurut masyarakat setempat disebut nyuhun. Rentetan barisan diakhiri dengan rombongan bapak-bapak paruh baya yang memikul padi dengan rengkong sambil digoyang-goyang. Menurut Pangeran Jatikusumah, semuanya itu mengandung makna yang sangat hakiki bagi masyarakat Cigugur.
Banyaknya hasil bumi yang dibawa masyarakat Cigugur ke arena upacara Seren Taun menandakan rasa syukur yang mendalam kepada Tuhan, meski masyarakat di Cigugur dan sekitarnya beragama Islam, Kristen, Budha, Hindu, dan aliran kepercayaan. Masih di kawasan Cipari-Cigugur, wisatawan dapat menikmati sejuknya hawa pegunungan Ciremai sembari bercengkrama dengan ribuan ikan kancra atau sering disebut ikan dewa yang oleh masyarakat setempat sangat disakralkan.
Lokasi kolam keramat Cigugur, terletak kira-kira 200 meter dari desa adat Cigugur atau empat kilometer dari pusat kota Kuningan. Menurut masyarakat setempat, komunitas ikan langka tersebut hanya terdapat di daerah Kuningan. Itu pula sebabnya pemerintah setempat mengangkat ikan kancra sebagai fauna yang dilindungi dan tanaman gadung sebagai flora yang dilindungi dengan perda. Ikan jenis kancra bodas ini selain terdapat di kolam keramat Cigugur, juga hidup secara alami di kawasan obyek wisata Darma Loka, Kolam Keramat Cibulan, Kolam Linggarjati, dan Kolam Cipaniis. n dedy setiono musashi
Legenda Ikan Kancra di Kaki Gunung Ciremai
Kolam Keramat Cigugur terletak sekitar tiga kilometer dari ibukota Kabupaten Kuningan. Secara geografis, ”balong” itu masuk wilayah Kelurahan Cigugur. Menurut cerita yang berkembang dan dipercaya oleh masyarakat setempat, sebelum lahir nama Cigugur, tempat itu acap disebut dengan nama Padara. Istilah ini diambil dari nama seorang tokoh masyarakat, yaitu Ki Gede Padara, yang memiliki pengaruh besar di desa itu.
Konon Ki Gede Padara lahir sebelum Kerajaan Cirebon berdiri. Menurut perkiraan, tokoh yang menjadi cikal bakal masyarakat Cigugur ini lahir pada abad ke-12 atau ke-13. Pada masa itu, beberapa tokoh yang sezaman dengannya sudah mulai bermunculan, di antaranya Pangeran Pucuk Umun dari Kerajaan Talaga, Pangeran Galuh Cakraningrat dari Kerajaan Galuh, dan Aria Kamuning yang memimpin Kerajaan Kuningan. Berdasarkan garis keturunan, keempat tokoh tersebut masih memiliki hubungan persaudaraan. Namun dalam hal pemerintahan, kepercayaan, dan ajaran yang dianutnya, mereka memiliki perbedaan. Pangeran Pucuk Umun, Pangeran Galuh Cakraningrat, dan Aria Kamuning menganut paham aliran ajaran agama Hindu. Sedangkan Ki Gede Padara tidak menganut salah satu ajaran agama.
Pada abad ke-14 di Cirebon lahir sebuah perguruan yang beraliran dan mengembangkan ajaran agama Islam. Tokoh yang mendirikan perguruan tersebut ialah Syech Nurdjati. Selain Syech Nurdjati, Sunan Gunungjati pun memiliki peran yang besar dalam pengembangan perguruan Islam di tanah Caruban itu. Sebagai kuwu pertama di Dusun Cigugur diangkatlah Ki Gede Alang-Alang. Hingga wafatnya, beliau dimakamkan di Kompleks Masjid Agung. Di usia tuanyan, Ki Gede Padara punya keinginan untuk segera meninggalkan kehidupan fana. Namun, ia sendiri sangat berharap proses kematiannya seperti layaknya manusia pada umumnya. Berita tersebut terdengar oleh Aria Kamuning, yang kemudian menghadap kepada Syech Syarif Hidayatullah. Atas laporan itu, Syech Syarif Hidayatullah pun langsung melakukan pertemuan dengan Padara. Syech Syarif Hidayatullah merasa kagum dengan ilmu kadigjayan yang dimiliki oleh Ki Gede Padara.
Dalam pertemuan itu Padara pun kembali mengutarakan keinginannya agar proses kematiannya seperti layaknya manusia biasa. Syech Syarif Hidayatullah meminta agar Ki Gede Padara untuk mengucapkan dua kalimat syahadat, sebagai syaratnya. Syarat yang langsung dipenuhi Ki Gede Padara. Namun, baru satu kalimat yang terucap, Ki Gede Padara sudah sirna. Setelah Ki Gede Padara menghilang, Syech Sarif Hidayatullah bermaksud mengambil air wudhlu. Namun, di sekitar lokasi tersebut sulit ditemukan sepercik air pun. Dengan meminta bantuan Allah SWT, dia pun menghadirkan guntur dan halilintar disertai hujan yang langsung membasahi bumi. Dari peristiwa inilah kemudian sebuah kolam tercipta.
Namun, masyarakat setempat tidak tahu menahu kapan persisnya kolam tersebut dibangun. Satu hal pasti, kolam tersebut dianggap keramat. Apalagi setelah kolam ”ditanami” ikan kancra bodas. Pengeramatan tersebut juga dilakukan oleh masyarakat terhadap ikan sejenis yang hidup di kolam Darmaloka, Cibulan, Linggarjati, dan Pasawahan. Maksud pengkeramatan terhadap ikan langka tersebut tidak lain bertujuan untuk menjaga dan melestarikannya dari kepunahan akibat ulah manusia.
Ada hal aneh yang sampai kini masih terjadi atas ikan-ikan itu: Jumlahnya dari tahun ke tahun tak pernah bertambah atau pun berkurang. Seolah ikan-ikan tersebut tidak pernah mati atau menurunkan generasi dan keturunan. Komunitas ikan kancra bodas ini tak dapat ditemui selain di kolam-kolam keramat yang ada di Kabupaten Kuningan. Keanehan lainnya terlihat dari polah tingkah laku mereka yang sangat akrab dengan manusia. Bila kolam dibersihkan, masyarakat sekitar sering melihat bahwa ikan-ikan yang ada di kolam tersebut menghilang. Mereka percaya bahwa ikan-ikan tersebut berpindah lokasi ke kolam-kolam keramat lainnya yang ada di Kuningan. Wallahhualam.qd